Meroketnews, Sekotong – Pelaku pencabulan terhadap empat santri di sebuah pondok pesantren ilegal di Desa Persiapan Pesisir Mas, Kecamatan Sekotong, memang sudah dipenjara. Tapi apakah keadilan sudah benar-benar tegak? Belum. Karena justru setelah pelaku dijebloskan ke penjara, yang jadi korban berikutnya adalah rakyat sendiri terutama ayah dari salah satu santri yang menjadi korban.
Yang dilaporkan dan dijadikan tersangka perusakan adalah orang tua korban sendiri. Warga yang bereaksi karena tak tahan melihat pelaku masih berkeliaran saat itu, justru dikriminalisasi. Lebih ironis lagi, pelapor adalah istri dari pelaku pencabulan itu sendiri. Bukannya introspeksi, malah menyerang balik masyarakat yang memperjuangkan keadilan.
Empat warga ditetapkan sebagai tersangka. Dua dilanjutkan ke proses hukum, dua dihentikan tanpa penjelasan. Dan kini, dua orang tersebut divonis bersalah atas dugaan perusakan. Di mana rasa keadilan? Di mana letak hukum moral negara ini saat ayah dari anak yang dicabuli malah dijebloskan ke penjara?
Apakah suara masyarakat sudah tak lagi berarti? Apakah kemarahan yang lahir dari luka batin dan kekecewaan mendalam dianggap kejahatan? Padahal pondok tempat kejadian ini tidak memiliki izin resmi. Seharusnya sejak awal sudah ditutup. Tapi justru tetap berdiri, seolah tak ada tragedi di dalamnya. Sementara orang tua korban justru divonis bersalah.
Kami tidak tinggal diam. Kami tidak akan lupa. Dan kami bersumpah, jika hukum terus berlaku seenaknya, jika aparat hanya berani pada rakyat kecil tapi ciut terhadap kekuasaan dan simbol agama, maka rakyat Sekotong akan bangkit!
Kami akan turun ke jalan. Kami akan bawa suara ini ke depan Polres. Kami tidak meminta belas kasihan kami menuntut keadilan yang sejati. Kami menolak hidup di negeri yang menjadikan orang tua korban sebagai pesakitan, sementara pondok ilegal tetap berjalan dan pelapor adalah bagian dari pelaku.
Sumpah kami: Jika hukum tidak punya keberanian, maka rakyat akan menjadi keberanian itu sendiri. Demi anak-anak kami, demi harga diri kami, demi keadilan yang seharusnya berdiri tegak bukan hanya tertulis di kertas, tapi hidup dalam tindakan.