Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) membuka peluang mengajukan kadernya sebagai calon presiden setelah Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan aturan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold).
Ketua Umum PKB, MuhNamun, ia menekankan bahwa Pilpres berikutnya masih jauh, sekitar lima tahun lagi pada 2029. Cak Imin juga mengingatkan pengalamannya sebagai calon wakil presiden mendampingi Anies Baswedan di Pilpres 2024. aimin Iskandar alias Cak Imin, menyatakan bahwa keputusan ini menciptakan iklim demokrasi yang lebih terbuka. “Pasti, pasti ada potensi [mengusung kader PKB]. Semua menyambut demokrasi yang lebih cair,” ujar Cak Imin di Istana Bogor, Jumat (3/1).
“Tahun lalu bisa maju, sekarang nanti belum tahu, masih panjang. Trauma kalah? Kita lihat saja nanti,” ucapnya.
Cak Imin menegaskan bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat, meskipun implementasinya bergantung pada DPR. “Ada satu bagian dari putusan itu yang mengembalikan ke pembuat undang-undang. Jadi, tergantung fraksi-fraksi di DPR,” tambahnya.
Usulan Pembatasan BaruMerespons keputusan MK, Indrajaya, anggota Komisi II DPR dari Fraksi PKB, mengusulkan agar hanya partai yang memenuhi ambang batas parlemen (parliamentary threshold) 4% yang dapat mencalonkan pasangan presiden dan wakil presiden.
“Alternatif lain adalah memperketat syarat pendirian partai politik dan mempertimbangkan sistem konvensi internal atau antarpartai,” katanya pada Sabtu (4/1). Ia juga menyarankan syarat tambahan, seperti capres dan cawapres harus berasal dari kader partai atau pernah menjabat sebagai pejabat negara.
Menurut Indrajaya, di negara-negara dengan sistem presidensial seperti AS, Brasil, dan Meksiko, pilpres berjalan tanpa presidential threshold. Namun, ia yakin jumlah pasangan calon di Indonesia tetap terbatas karena hanya partai besar yang akan berani mengusung kandidat.
MK: Presidential Threshold Bertentangan dengan KonstitusiDalam putusannya, MK menyatakan Pasal 222 UU Pemilu inkonstitusional karena bertentangan dengan prinsip kesetaraan, hak kolektif, dan kepastian hukum sebagaimana diatur dalam UUD 1945.
Yusril Ihza Mahendra, Menko bidang Hukum dan pakar hukum tata negara, menyatakan pemerintah menghormati keputusan MK yang bersifat final dan tidak dapat digugat. “Keputusan MK adalah yang pertama dan terakhir, final, serta mengikat,” ujar Yusril dalam keterangannya, Jumat (3/1).
Ia juga mencatat perubahan sikap MK terhadap Pasal 222 dibanding putusan-putusan sebelumnya, meski pemerintah tetap menerima keputusan tersebut tanpa memberikan komentar lebih lanjut.