Muhaimin Iskandar: Sang Penari di Tengah Gelombang
Di panggung politik Indonesia yang penuh turbulensi, hanya segelintir tokoh yang mampu bertahan dalam jangka panjang tanpa tergelincir oleh gelombang kekuasaan dan konflik internal.
Muhaimin Iskandar, atau yang lebih akrab disapa Cak Imin, adalah salah satunya. Sejak awal 2000-an, ia telah menjadi wajah dominan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan berhasil mempertahankan posisinya sebagai ketua umum selama hampir dua dekade, menjadikannya salah satu ketua partai terlama setelah Megawati Soekarnoputri.
Babak Awal: Mengambil Alih PKB dari Gus Dur
Tak bisa dibantah, jejak karier politik Muhaimin dimulai dalam bayang-bayang besar Gus Dur, pendiri PKB sekaligus presiden keempat RI. Namun pada pertengahan 2000-an, hubungan keduanya memburuk, terutama menyangkut kepemimpinan PKB.
Dalam konflik yang melibatkan pertarungan struktural dan legitimasi moral, Muhaimin berhasil mengunci kendali organisasi. Ia tidak menantang Gus Dur secara langsung di ruang publik, melainkan membangun kekuatan lewat jalur formal, struktural, dan hukum. Kemenangan ini bukan semata hasil konfrontasi, melainkan buah dari strategi politik yang tenang dan penuh kalkulasi.
Seperti seorang ronin dalam budaya samurai Jepang, Cak Imin berhasil bertahan tanpa “tuan”—Gus Dur—namun tetap membangun “klan” sendiri di tubuh PKB. Langkah ini menjadi pondasi kekuatan jangka panjangnya.
Manuver Cawapres dan Seni Politik Last Minute
Puncak baru dari kelihaian politik Cak Imin terjadi pada 2023, ketika ia muncul sebagai calon wakil presiden mendampingi Anies Baswedan dalam kontestasi Pilpres 2024.
Keputusan ini muncul di menit akhir, menggantikan figur populer AHY. Dalam dunia politik yang sering diwarnai transaksionalisme dan kompromi, langkah ini menunjukkan bahwa Cak Imin memiliki posisi tawar yang tinggi; baik secara elektoral maupun jaringan elite.
Meski pasangan Anies-Muhaimin kalah dalam pilpres, Cak Imin justru menunjukkan kelihaiannya dengan membawa PKB kembali ke barisan koalisi pemerintah. Ia tidak mengambil jalur oposisi keras, tapi menyusun pendekatan rekonsiliatif yang membuat PKB tetap menjadi aktor penting dalam perpolitikan nasional.
Hal ini membuktikan bahwa ia bukan hanya sekadar bertahan, tapi mampu menyusun ulang peta kekuasaan tanpa membuat musuh baru.
Kembali ke Pemerintahan Tanpa Membakar Jembatan
Kekalahan dalam Pilpres 2024 tidak membuat Cak Imin dan PKB terlempar dari lingkar kekuasaan. Justru sebaliknya, pasca pemilu, PKB secara cepat dan rapi menyelaraskan diri dengan koalisi Prabowo-Gibran.
Langkah ini menunjukkan kemampuan adaptasi politik Cak Imin; menghindari oposisi total dan membuka pintu kompromi strategis.
Masuknya PKB ke dalam pemerintahan menunjukkan satu hal: Cak Imin tidak pernah bermain untuk kalah total. Ia selalu menyisakan jalur diplomasi, memastikan bahwa partainya tetap relevan dan bisa ikut serta dalam pengambilan keputusan nasional.
Ini bukan sekadar manuver politik, tapi seni menjaga hubungan dan meminimalkan keretakan jangka panjang dengan pihak manapun.
Tidak Menjadi Musuh Siapa-Siapa
Muhaimin Iskandar adalah prototipe politisi yang menjalankan “politik tanpa permusuhan permanen.” Dalam pergaulan elite, ia dikenal lentur, tidak mudah tersulut, dan cenderung menghindari konfrontasi frontal.
Sifat ini mengingatkan pada karakter Yudhistira dalam epos Mahabharata; seorang raja yang bijak, penuh pertimbangan, dan tidak mengedepankan emosi dalam bertindak.
Dengan gaya ini, ia mampu tetap relevan dalam berbagai konfigurasi pemerintahan; baik saat PKB menjadi bagian dari koalisi penguasa maupun ketika berada di luar. Ia tidak membuat musuh, tapi juga tidak kehilangan pijakan politik.
Cak Imin bisa disandingkan dengan Tokugawa Ieyasu; pendiri Shogun Tokugawa di Jepang. Ieyasu dikenal sebagai pemimpin yang lambat mengambil keputusan, tapi penuh perhitungan dan selalu berhasil memetik hasil maksimal dari kesabaran panjang.
Ia juga bisa dibandingkan dengan Angela Merkel, mantan Kanselir Jerman. Merkel adalah simbol kestabilan dan ketenangan dalam politik, pemimpin yang tidak banyak bicara tapi sangat berpengaruh.
Sementara dari dunia mitologi, ia menyerupai sosok Odysseus dari Yunani—seorang yang cerdik, sabar, dan tahu kapan harus melangkah atau menahan diri dalam menghadapi badai politik.
Tidak Mustahil: RI 2 atau Bahkan RI 1
Dengan semua kekuatan, kesabaran, dan kehalusan berpolitik yang dimilikinya, tidak mustahil jika suatu hari nanti Muhaimin Iskandar akan kembali mencalonkan diri sebagai wakil presiden—atau bahkan presiden Indonesia dan menjadi pemenangnya.
Track record-nya dalam memimpin PKB, membangun jaringan nasional hingga ke level akar rumput, serta kemampuannya menjalin relasi lintas koalisi dan generasi elite politik, menjadi modal besar.
Ia adalah figur yang tahu membaca waktu, tahu menunggu momentum, dan tidak terburu-buru membakar bahan bakarnya. Dalam peta politik jangka panjang, ia tidak hanya bermain di satu babak, tapi mempersiapkan dirinya untuk panggung akhir.
Penutup: Sang Penari Politik
Muhaimin Iskandar bukan politisi yang flamboyan, bukan pula orator besar.
Tapi ia adalah penari politik yang tahu kapan harus masuk, kapan harus mundur setapak, dan kapan harus berputar. Seperti air, ia mengisi ruang tanpa merusak wadah, tapi bisa menghanyutkan jika diperlukan.
Dalam lanskap politik Indonesia yang keras dan penuh kejutan, sosok seperti Cak Imin justru menunjukkan bahwa kekuatan sejati ada pada mereka yang tahu cara bertahan, bukan hanya cara menang.
Chairul Islam
Kader Partai Masyumi
Partai Islam