Oleh : Mahfud, S.Ud., M.Pd Dosen STIT Raden Santri Gresik
Telologi Pembebasan, pada awalnya wacana ini muncul di Amerika Latin sebagai bentuk protes atas ketidak adilan dalam berbagai bidang kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan keagamaan. Jauh sebelum konsep teologi pembebasan ini menjadi perbincangan, terlebih dahulu di awali oleh Dussel yang memperkenalkan konsep teologi kenabian pada tahun 1560-an. Walaupun pada akhirnya gagasan ini runtuh pada masa kolonialisme. Namun sebelum Gustavo menerbitkan buku, gagasan ini telah muncul pada tahun 1950-1960.
Kemudian teologi pembebasan ini muncul di gagas oleh Gustavo pada tahun 1971-1972 dengan bukunya yang berjudul theology of liberation. Kemunculan ini masih dalam bentuk protes atas suatu keadaan yang terjadi di Amirika Latin. Dan itu terjadi akibat banyaknya pengiriman budak dari Eropa ke Amirika Latin, dan para penguasa memiliki peran penting di dalamnya. Di lain pihak istilah teologi pembebasan banyak yang mengatakan identik dengan ajaran Marxisme. Namun, yang penting di sini teologi pembebasan muncul sebagai upaya membebaskan rakyat Amerika Latin dari penindasan yang dilakukan oleh para penguasa Pastur dan pendeta di sana dengan mengatasnamakan agama dan kekuasaan.
Namun, dalam wacana ini penulis mencoba memaknai teologi pembebasan ini sebagai upaya untuk tidak terjebak oleh suatu bentuk kekuasaan dan paradigma buta para penguasa, dengan alasan atas nama agama dan kitab suci. Atas nama kekuasaan, agama dan kitab suci, yang lain dibelenggu dengan prespektif kolotnya penguasa. Dalam kaitannya dengan gagasan teologi pembebasan ini, agama dan kekuasaan bagi para penguasa Pastur dan Pendeta dijadikan sebagai alat untuk melanggengkan kekuasaan, menjalankan penindasan atas nama agama, dan Tuhan sebagai taming dari tindak laku kejamnya.
Bagi yang rasional dan beriman, Tuhan tidak begitu kejam, dengan mengijinkan manusia menghakimi manusia. Akan tetapi, hal itu terjadi akibat manusia terlalu congkak, sehingga mengatas namakan agama dan kitab suci sebagai cara untuk melanggengkan kekuasaan. Tetapi atas dasar kekuasaan, Tuhan kemudian dibelenggu oleh anggapan-anggapan negatif yang dibentuk oleh mereka yang serakah. Sehingga bagi manusia yang mendapatkan penindasan, Tuhan dianggap “kejam.”
Dalam ranah kekinian, banyak orang yang mengadopsi sikap para penguasa Pastur dan Pendeta, agar kekuasaan langgeng dalam penghormatan yang sinis. Atas nama kekuasaan mengabaikan prinsip humanisme. Sehingga selalu membungkam gerak kreativitas dengan memandang manusia itu siapa, tak tahu apa-apa, tak seperti “aku” para penguasa yang hebat.
Sikap manusia untuk menjadi “tuhan” bagi manusia, tapi tetap tidak bisa seperti Tuhan. Yang lain adalah sebuah eksistensi dari realitas dalam J.P. Sartre, bukan eksistensi dari konsep ide yang tak terjamah dalam konsep Plato, walaupun demikian yang tak terjamah pun adalah realitas dalam dunianya sendiri yang juga bereksistensi. Yang tak dianggap adalah pengganti bagi para pengaku “tuhan.” Tersimpan jutaan potensi dalam tubuh yang luput dari pandangan mata telanjang, namun bisa dilihat dengan memberikan sejuta kesempatan dalam kreativitas logis atas dasar percaya bahwa yang lain bisa.
Islam hadir dalam konteks membebaskan manusia dari belenggu mensucikan selain Allah. Oleh sebab itu lihatlah bahwa setiap manusia adalah berhak dan pantas untuk menerima sebuah kesempatan. Teori tabularasa, John Locke memandang manusia harus di isi dengan pengalaman, dalam teori fitrah-nya Al-Ghazali menghendaki setiap manusia untuk digali potensinya. Jika masih dalam belenggu untuk menjadi “tuhan.” Apa bedanya dengan para bapa Gereja yang menghukum mati Galeleo. Apa bedanya dengan penguasa yang menghukum mati Socrates dengan minum racun, dan apa bedanya dengan penguasa yang menghukum mati Al-Hallaj. Kekuasaan adalah kelanjutan dari gen dalam bentuk budaya dalam pandangan Dowkin, ilmu yang dikuasai juga adalah gen yang diturunkan oleh seorang guru. Ketika berkuasa, gen akan diputus oleh sikap eksklusifisme dan rasa congkak, harusnya gen-gen ilmu diturunkan agar menjadi lestari dalam bentuk sikap inklusivisme.
Oleh : Mahfud, S.Ud., M.Pd Dosen STIT Raden Santri Gresik.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi meroketnews.id.
*) Rubrik Opini terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: meroketnews@gmail.com