Oleh : Athriya Wardani Mahasiswa STIT Raden Santri Gresik.
Di Bawean, “Noko” adalah sebuah pulau kecil yang terletak kurang lebih empat kilometer di arah tenggara pulau bawean. Kalau berdiri di pantai timur Bawean akan tampaklah pulau kecil yang luas permukaannya hanya sekitar 5 ribu meter persegi.
Struktur tanahnya terdiri atas gugusan pasir yang semuanya berwarna putih. Jadi Pulau Noko ini seakan lapangan yang terbuat dari pasir putih yang terdapat di tengah-tengah laut. Hampir tidak ditemui karang benar di sana, juga tidak ada batu-batu hitam, semuanya benar-benar pasir putih.
Ada dongeng menarik tentang mula-mula terjadinya pulau Noko ini. pada sekitar 400 tahun yang lalu di Nusantara ini terjadi angin besar. Hampir semua pulau di Indonesia diterpa angin besar tersebut.
Lantaran angin dahsyat itu banyaklah rumah penduduk roboh, pohon- pohon besar juga bertumbangan, kapal, perahu dan sampan banyak juga yang hanyut karena putus tali penambatnya karena gelombang dan arus yang amat kuat.
Dalam perjalanan Ilmu Pengetahuan Alam,angin yang terjadi ketika itu termasuk jenis angin siklon. Yakni angin ribut yang berputar dan bergerak dengan keras mengelilingi suatu pusat.Syahdan,tempat yang menjadi pusat angin siklon waktu itu ada di sekitar pulau Bawean.
Ketika angin telah reda, banyaklah kapal dan perahu besar kecil serta sampan-sampan terdampar di Pantai Pulau Bawean yang jenisnya sangat beraneka ragam. Seolah-olah perahu dan kapal-kapal tersebut berasal dari setiap pelabuhan pantai yang ada di Nusantara ini.
Nah, hal tersebut bisa dibuktikan dengan banyaknya jenis kapal dan bentuk perahu serta model sampan yang beraneka macam di pulau Bawean saat ini. Ada jenis perahu bugis, Sulawesi, Sumatera, Banyuwangi; kapal Pulau Seribu, kapal Banjarmasin; sampan Madura, jhukong atau jokkong, dan masih banyak lainnya.
Sedangkan pusat dari segala pusat angin siklon di atas tersebut terjadi di pulau Noko. Sehingga Pulau Noko (yang sebelum terjadi angin siklon itu hanya berupa tumpukan karang laut biasa) sesudah angin siklon telah reda, ternyata karang-karang tersebut tertutup pasir yang semuanya berwarna putih yang berasal dari pasir-pasir yang dihempaskan oleh gelombang-gelombang besar dan arus kuat ke karang-karang itu, maka jadilah Pulau Noko yang ada sekarang ini.
Mungkin, Pulau yang berinduk ke Pulau Bawean ini merupakan satu-satunya pulau di Nusantara yang berupa pasir permukaannya dan terdapat di tengah-tengah laut.
Pada lima tahun yang lalu, di Pulau Noko ini masih ditemui beberapa pohon cemara dan beberapa rumpun tanaman “santeghi” atau mentigi, yakni tanaman perdu, kayunya dibuat hulu keris, dan sebagainya (PEMPHIS ACI DULA).
Di Bawean, tanaman “santeghi” ini terkenal “sakti” nya. Hanya dengan menyentuhkan batang mentigi itu ke tubuh ular yang paling berbahaya di Bawean (yakni ular belang Hitam-Putih) maka dengan seketika itu ular berbisa tersebut akan tidak berdaya dan sangat lemah sekali. Apalagi kalau dipukulkan agak keras, apalagi jika dipukulkan pada ular-ular jenis lain,tentu akan sangat ampuh!
Entah untuk apa lagi khasiat sebuah batang pohon mentigi tersebut di luar Pulau Bawean. Yang pasti, setiap ada rombongan, baik dari instansi pemerintah ataupun pihak swasta, baik tingkat kabupaten (Gresik), tingkat provinsi Jawa Timur (Surabaya) atau dari jakarta, setiap itu pula beberapa orang dari rombongan itu memesan “santeghi”. Sehingga setiap rombongan pulang, pastilah membawa mentigi.
Semakin banyak anggota rombongan itu, semakin banyak pulalah mentigi yang dibawanya. Jadi,jika ada rombongan ke Bawean, seakan sudah merupakan acara wajib untuk “mengambil” pohon mentigi itu.
Kabarnya, kayu-kayu mentigi itu memang ada keistimewaan tersendiri. Sehingga ada yang dibuat tongkat, dibentuk kalung atau gelang, cincin, dan sebagainya. Oleh karena telah banyak kali rombongan datang di Bawean, berarti telah sekian ribu kali pohon mentigi itu dibabat secara sembarangan. Sehingga kini, sudah tidak ditemui lagi tanaman “sakti” itu di pulau Noko.
Bahkan bukan hanya pohon mentigi itu, tapi cemara-cemara, semak-semak, dan tanaman perdu lainnya sudah tak terdapat lagi di sana, kecuali rerumputan yang menjalar yang tingginya hanya sekitar 30 cm. Untunglah di tempat lain di Bawean masih tersimpan mentigi itu, tapi sudah tidak sesakti yang dari Pulau Noko.
Pulau Noko cukup dikenal di kawasan Jawa Timur, terutama karena pemandangan bawah lautnya. Pulau Noko dan sekitarnya telah berkali-kali di kunjungi para mahasiswa dan wisatawan lain untuk mengadakan penyelidikan di sana. Setidaknya mereka ke sana untuk menyaksikan pemandangan bawah lautnya yang memang layak untuk dipromosikan sebagai tempat wisata bahari.
Sebab pemandangan karangnya sangat “aduhai”. Karang-karangnya memang indah dan beragam, yang juga disemarakkan oleh ikan-ikan hias dan bunga- bunga karang yang menawan. Hanya sayang, sampai sekarang masih sering ditemui kapal-kapal asing untuk menangkap ikan di sana dengan cara yang tidak “berperikebinatangan”.
Mereka menangkap ikan dengan menggunakan bom yang akibatnya bukan hanya ikannya yang mati, tetapi telur-telur ikan dan udang, karang-karangan, dan semua flora dan fauna di sana hancur.
Namun untunglah di perairan Pulau Bawean yang lain masih kaya akan pemandangan bawah lautnya. Sehingga sampai kini boleh juga sebagai tempat wisata bahari bagi remaja dan putera Nusantara yang cinta laut!
“JHUKONG” atau jokkong. Kabarnya, perahu kecil ini pernah digunakan orang Bawean merantau ke “Selat” atau Singapura di masa silam. Pulau Noko: sepuluh tahun yang lalu masih ditumbuhi tanaman mentigi dan tanaman perdu lainnya.
Oleh : Athriya Wardani Mahasiswa STIT Raden Santri Gresik.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi meroketnews.id.
*) Rubrik Opini terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: meroketnews@gmail.com