Oleh : Mahfud, S.Ud., M.Pd Dosen STIT Raden Santri Gresik.
Tak terbayangkan sebuah bentuk konsep berpikir kolonialisme masih bertahan hingga sekarang, terutama dalam ranah dunia intelektual. Lebih dari tiga ratus tahun bangsa Indonesia berada dalam tekanan kolonialisme, dan imperialisme bangsa Eropa (Belanda). Selama itu bangsa Indonesia mencoba keluar dari belenggu-belenggu kolonial.
Sebuah gerakan untuk membebaskan diri dari belenggu itu terus dilakukan, terutama oleh tokoh-tokoh reformasi. Walaupun pada dasarnya bangsa Indonesia tidak benar-benar di jajah dalam rentang waktu tiga ratus tahun lebih. Namun, yang kita baca dari buku-buku sejarah mulai tingkat dasar hingga menengah bangsa Indonesia di jajah selama itu.
Hal itu tidak benar. Di balik alasan dicantumkanya kurun waktu tersebut adalah upaya para proklamator bangsa untuk memompa semangat bangsa untuk segera keluar dari belenggu kolonialisme, dan imperialisme.
Sekelumit teks di atas bukan ingin membukukan sejarah baru dalam kontek sejarah bangsa Indonesia. Tetapi, teks di atas ingin membawa kita pada cara berpikir berbeda dari pandangan umum. Daya berpikir kritis, bukan berarti menjadi berbeda, tetapi memandang segala sesuatu dengan cara berbeda. Akan tetapi, sebagian dari kita tidak memahami semua itu. Karena cara berpikir kita masih menyisakan cara kerja berpikir kolonial. Bagi kolonialis, sebuah geliat bangsa Indonesia untuk membebaskan diri adalah bentuk pemberontakan yang mengancam sebuah eksistensi.
Akan tetapi, bagi rakyat yang menginginkan kebebasan itu adalah gerakan revolusi. Sekali lagi kritis bukan untuk berbeda, tetapi memandang dengan cara berbeda. Bagi kaum kolonial, menduduki bangsa Indonesia adalah hal yang biasa tanpa melanggar hak asasi manusia, akan tetapi bagi bangsa Indonesia keberadaan kolonial merupakan bentuk penindasan dan penyiksaan. Apa yang dilakukan oleh kolonial, dan bangsa Indonesia adalah satu aktivitas yang sama (untuk menduduki bangsa Indonsia) dua pandangan berbeda.
Gerakan untuk melatih daya kritis dari gen-gen baru, dipandang berbeda dalam bentuk pressure yang dilakukan secara konstan. Pemikiran adalah bagian dari ideologi yang menjadi ciri dari upaya untuk berieksistensi. Pandangan sinis menjadi virus yang membunuh secara perlahan kerja nalar, yang sesungguhnya tak bisa dibungkam oleh dogma apa pun. Namun ketika eksklusivisme masih menjadi paradigma.
Daya nalar kritis dianggap upaya mengkerdilkan eksistensi. Ideologi bukan untuk menciptakan dramaturgi tanpa makna, tatapi untuk menciptakan harapan sebagai cara merekonstruksi bukan untuk mendiskreditkan. Distorsi fakta telah memarjinalkan konsistensi logika. Tawaran perspektif baru menjadi onak dalam kolektivitas awam. Anomali sistem tidak mendatangkan koreksi, yang tidak mengerti menjadi terhegemoni dalam sikap diam.
Pada dasarnya cara berpikir kita dengan cara berpikir bangsa Eropa cenderung sama, akan tetapi mereka lebih dahulu mengubah bentuk cara berpikirnya, dari sistem berpikir klenik, dan dimamisme menuju sistem berpikir rasional dan kritis.
Konstruksi pemikiran dibangun dengan sistem berpikir filosofis yang labih canggih sehingga mereka cepat berkembang. Bukan seperti kita yang masih memandang semua ini dangan pandangan sinis tampa memberi sedikit makna bagi yang mau berusaha.
Pada tahap ini logika berada dalam sel-sel dekonstruksi yang semakin masif. Sehingga secara gradual gen-gen baru menjadi terinfeksi virus-virus sinis yang memandang dengan mata terpejam. Sehingga suntikan vaksin tak mampu melawan ganasnya virus-virus yang telah mendarah daging dalam bentuk logika berpikir.
Oleh : Mahfud, S.Ud., M.Pd Dosen STIT Raden Santri Gresik.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi meroketnews.id.
*) Rubrik Opini terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: meroketnews@gmail.com